Kita sering mendengar istilah turn over karyawan yang terjadi di perusahaan-perusahaan. Turn over sendiri bermakna keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lain. Karyawan berpindah tempat kerja sebelum mendapatkan masa realisasinya di tempat kerja. Bisa jadi karyawan keluar meninggalkan tempat kerjanya, bisa pula karyawan mengundurkan diri sebelum merealisasikan masa kesepakatan kerjanya.
Pada dasarnya perilaku turn over karyawan sangat mengganggu dinamika organisasi. Karyawan sebagai sendi-sendi penggerak roda bisnis perusahaan. Karyawan merupakan sumber daya penting untuk menopang ritme kinerja perusahaan. Bisa dibayangkan jika satu komponen roda tersebut hilang, maka akan berpengaruh pada pergerakan dinamika organisasi itu. Karyawan pergi maka secara otomatis perusahaan harus mencari penggantinya atau memberikan beban dua kali lipat kepada karyawan yang tersedia di dalam organisasinya.
Kasus yang sering saya jumpai perilaku turn over karyawan disebabkan beberapa faktor. Pada tulisan ini saya akan membahas mengenai faktor sistem. Karyawan memilih pergi meninggalkan perusahaan dapat disebabkan faktor sistem karir yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Hal ini bisa karena keterbatasan sistem jenjang yang dimiliki perusahaan. Dapat pula tingkat stress yang dialami karyawan karena tidak mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan keterbatasan sistem karir yang dikembangkan perusahaan di tempat kerja. Secara teoritis diungkap bahwa situasi yang tidak sesuai dengan prediksi seseorang akan karirnya dapat menyebabkan seseorang stres karena tidak mampu beradaptasi dengan sistem karir yang dihadapi (Higgins, dkk; 2010). Kondisi tersebut dapat menyebabkan karyawan merasa tidak nyaman, tidak bersemangat, kurang antusias, kurang yakin untuk dapat mengembangkan karirnya, bahkan sering pula dijumpai karyawan yang berpindah-pindah selayaknya “kutu loncat”.
Sistem karir yang kurang ideal menurut karyawan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman untuk bekerja di perusahaan yang menerapkan sistem karir yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan. Ketidaknyamanan dalam menghadapi sistem karir yang kurang optimal dapat menghambat keberlangsungan karir karyawan dalam bekerja. Situasi yang seperti itu maka karyawan akan sulit beradaptasi dan akibatnya karyawan tidak mampu bertahan untuk tetap bekerja di perusahaan tersebut. Oleh karena itu banyak dijumpai kasus-kasus karyawan keluar atau biasa dengan istilah berpindah-pindah (turn over).
Kasus-kasus yang dijumpai pada karyawan yang sering berpindah-pindah tempat kerja adalah karena masalah kebijakan atasan atau manajemen yang kurang jelas, leadership kurang baik, tawaran gaji lebih tinggi, faktor motivasi, jenjang karir tidak jelas, serta minimnya apresiasi. Faktor ketidakpuasan seorang karyawan terhadap kebijakan sistem karir juga berpengaruh terhadap perilaku turn over.
Kasus-kasus pada perusahaan yang saya temui, diantaranya ada beberapa karyawan yang merasa tidak puas atas sistem karir yang ada di dalam kebijakan perusahaannya. Menurutnya bahwa sistem jenjang karir di perusahaan tidak berjalan secara baik, jabatan yang menoton, adanya penilaian karyawan yang kurang obyektif, pembagian reward yang tidak obyektif, dan ada pula karyawan yang baru bekerja beberapa bulan sudah mendapatkan fasilitas dan jabatan yang strategis yang memunculkan GAP diantara karyawan.
Dari beberapa analisa permasalahan di atas mungkin kita bisa menilai mengapa kita memutuskan keluar maupun berpindah dari tempat kerja kita sekarang. Hal tersebut merupakan pilihan pribadi karyawan untuk mendapatkan kepuasan dan kenyamanan kerja. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah jika anda memutuskan untuk berpindah, maka anda pun harus melihat etika kerja yang terikat di dalam hubungan industrial. Alangkah baiknya jika kita sebagai karyawan menyelesaikan realisasi kerja secara terhormat. Solusi tersebut dapat menyebabkan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Relasi bisnis tetap terjaga dengan baik untuk masa yang akan datang.
Di sisi lain jika kita melihat dari sudut pandang manajemen perusahan dengan adanya perilaku turn over maka tentu saja akan berdampak negatif bagi image perusahaan. Perusahaan harus mengeluarkan budget untuk proses rekrutmen karyawan pengganti. HRD perusahaan pun harus berbenah. Melandasi sistem perekrutan yang ditunjang dengan sistem karir yang kuat. Tentu juga harus dibarengi dengan optmalisasi fungsi human capital dalam implementasi sistem manajemen sumber daya manusia (MSDM). Oleh karena itu sebagai karyawan, bersikap bijaklah dalam memilih dan menentukan tempat kerja anda selanjutnya.
Referensi:
Higgins, M., Dobrow, S., & Roloff, K. (2010). Optimism and the boundaryless career: The role of developmental relationships. Journal of Organizational Behavior, 31, 749–769.