Ada kasus yang cukup menggelitik ketika saya membaca disalah satu media mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). permasalahannya sebetulnya cukup sederhana namun bisa berakibat besar apabila masuk ke ranah hukum Ketenagakerjaan. Diberitakan bahwa salah satu manajemen rumah sakit di kotabesar dipesisir utara Jawa Tengah telah melakukan PHK terhadap 4 karyawannya.
Diceritakan bahwa karyawan yang bersangkutan mendapatkan SMS dari pihak manajemen rumah sakit, bahwa mulai tanggal 15 September 2011 sudah tidak dapat bekerja lagi. Secara psikologis, dari sudut pandang karyawan sangat jelas sekali kemungkinan munculnya ketidaknyamanan dengan situasi yang diterimanya. Hal ini kemudian mengundang reaksi yang tidak menyenangkan terhadap pihak manajemen. Kemudian karyawan yang bersangkutan meminta pendampingan kepada serikat pekerja, dalam hal ini SPN untuk membawa kasus ini ke pihak disnakertrans, untuk diselesaikan secara adil.
Kasus ini sebetulnya dapat dihindari, apabila pihak SDM dari rumah sakit tersebut memahami dan melaksanakan etika profesionalitas dalam bekerja. Hal ini mengingat bahwa dari berita ini dituliskan, mengungkapkan bahwa karyawan yang di PHK tersebut statusnya adalah karyawan kontrak. Pertimbangan yang menjadi dasar PHK untuk karyawan kontrak sebetulnya ada di klausul-klausul perjanjian kerja kontrak antara karyawan dengan pihak manajemen. Dari kasus diatas yang dapat kita analisa, diantaranya:
- Pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk karyawan kontrak didasarkan pada klausul perjanjian kontrak kerja yang mengikat kedua belah pihak.
- Klausul tersebut ada dituliskan tidak, mengenai masa jangka waktu kontrak ? jika ada maka kita harus berpedoman pada klausul tersebut.
- Klausul tersebut menuliskan tidak, untuk item-item pemutusan hubungan kerja secara sepihak, baik dari pihak manajemen ataupun pihak karyawan?
- PHK dari pihak manajemen harus berdasarkan penilaian yang obyektif, misalkan penilaian kinerja, ataupun aspek legal mengenai indispliner, dll harus dituliskan pada klausul tersebut.
- PHK dari pihak karyawan harus berdasarkan keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterima oleh pihak manajemen, biasanya dalam bentuk pengunduran diri, sakit, dll. (lihat klausulnya)
- Penghitungan sisa gantungan gaji dan upah-upah yang lain juga perlu dihitung secara proposional.
- Permasalahan etika profesionalitas jabatan SDM, ketika kita merekrut seseorang tentu saja dengan adanya kontrak kerja secara legal, dan proses perekrutan awal pun antara pihak manajemen dan pihak karyawan pastilah saling bertemu untuk berkomunikasi dan bernegoisasi. Oleh karena itupun untuk masalah pengakhiran hubungan kerja harus dilakukan seperti halnya ketika kita merekrut karyawan baru. Dengan bertemu dan menyampaikan tujuannya secara langsung kepada karyawan.